naluri dan ikatan-ikatan


Manusia dibekali oleh Allah Swt 3 potensi dalam diri mereka, yaitu:
1. Jasmaniah  jika tidak dipenuhi bisa mengakibatkan kematian
2. Naluri/Gharizah/instink  jika tidak dipenuhi menimbulkan kegelisahan, dan tidak sampai pada kematian. Naluri ini bisa dialihkan ke sesuatu yang hampir mirip/serupa. Ada 3 naluri/instink/gharizah dalam diri manusia, yakni:
a. Naluri untuk mensucikan sesuatu / Gharizah Taddayun
The example : manusia punya keinginan untuk menyucikan sesuatu, sperti beribadah, menyembah sesuatu dll
b. Naluri untuk melestarikan jenis/Gharizah Nau’
The example : Manusia punya cinta kasih pada sesama, pada lawan jenis, pada orang tua, anak, binatang dll.
c. Naluri untuk mempertahankan diri/Gharizah Baqa’
The example : Marah jika dihina, rasa ingin menang sendiri/egois, ingin menguasai sesuatu dan semua yang berhubungan dengan mempertahankan eksistensi dirinya.
3. Akal
Akal digunakan sebagai alat untuk mencari kebenaran dan memahami eksistensi 3 unsur pokok kehidupan (manusia, hidup, dan alam semesta), sehingga akan lahir suatu pemikiran cemerlang (fikru mustanir) tentang kehidupan, alam semesta dan manusia. Bahwa ke-3 unsur pokok tadi ada Seorang Pencipta yang menciptakannya.


Dalam hubungan nya dengan ikatan, ada beberapa ikatan yang mengikat antar manusia, yakni:
1. Ikatan kebangsaan (patriotisme)
Ikatan ini tumbuh ditengah2 masyarakat tatkala pola pikir manusia mulai merosot.
Ikatan ini terjadi ketika manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tidak beranjak dari situ.
Naluri mempertahankan diri (gharizah baqa’) sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempat dimana mereka hidup dan menggantungkan diri.
Dari sinilah cikal bakal tumbuhnya ikatan kebangsaan. Ikatan ini tergolong ikatan yang paling lemah dan rendah nilainya.
Ikatan seperti ini tampak juga dalam dunia binatang serta burung-burung dan senantiasa emosional sifatnya yang muncul ketika ada ancaman pihak asing yang hendak menyerang atau menaklukkan suatu negeri. Dan bila suasananya aman dari serangan musuh dan musuh tersebut dapat dilawan/diusir dari negeri tersebut, maka sirnalah kekuatan ini. Oleh karena itu ikatan ini rendah nilainya.

2. Ikatan kesukuan (Nasionalisme)
Sama dengan ikatan patriotisme, ikatan ini tumbuh ditengah2 masyarakat pada saat pemikiran manusia mulai sempit. Ikatan ini mirip dengan ikatan kekeluargaan, hanya sedikit lebih luas. Yang mana ikatan ini muncul karena pada dasarnya manusia memiliki naluri mempertahankan diri (gharizah baqa’), kemudian dalam dirinya mencuat keinginan untuk berkuasa. Keinginan iin muncul pada individu yang rendah taraf berpikirnya. Apabila kesadarannya meningkat dan pemikirannya berkembang maka bertambah luaslah wilayah kekuasaannya, sehingga timbul keinginan keluarga dan familinya untuk berkuasa dan terus melebar sesuai dengna perkembangan pemikirannya, sampai suatu saat timbul keinginan sukunya di negeri tesebut. Apabila mereka telah mendapatkan kekuasaan itu, iapun ingin sukunya menguasai bangsa-bangsa lain.

Keadaan yang ingin agar suku/keluarganya menang dari suku/keluarga lain akan menimbulkan rasa fanatisme golongan (ta’ashub) dalam diri anggota ikatan ini. Mereka dikuasai oleh hawa nafsu dalam usahanya membela anggotanya terhadap anggota suku yang lain. Sehingga ikatan ini tidak sesuai dengan martabat manusia yang senantiasa menimbulkan berbagai pertentangan intern seperti perselisihan dengan pihak luar (keluarga, ,suku, bangsa, dan lain-lain)

Ikatan patriotisme merupakan ikatan yang rusak (tabiatnya buruk) karena 3 hal:
a. Karena mutu ikatannya rendah, sehingga tidak mampu mengikat antara manusia satu dengan lainnyau untuk menuju kebangkitan dan kemajuan.
b. Karena ikatannya bersifat emosional yang selalu didasarkan pada perasaan yang muncul secara spontan dari naluri mempertahankan diri (gharizah baqa’). Ikatan yang bersifat emosional sangat berpeluang untu berubah-ubah, sehingga tidak bisa dijadikan ikatan yang langgeng antara manusia satu dengan lainnya.
c. Ikatannya bersifat temporal, yaitu muncul saat membela diri karena datangnya ancaman. Sedangkan dalam keadaan normal (stabil), ikatan ini tidak muncul. Dan tidak bisa menjadi pengikat antar sesama manusia.

Ikatan kesukuan (nasionalisme) juga termasuk ikatan yang rusak (tabiatnya buruk) karena 3 hal :
a. Karena berlandaskan pada qobilah / keturunan, sehingga tidak bisa dijadikan pengikat antar manusia satu dengan lainnya menuju kebangkitan dan kemajuan.
b. Karena ikatannya bersifat emosional selalu didasarkan pada perasaan yang muncul secara spontan dari naluri baqa’ yaitu keinginan dan ambisi untuk berkuasa.
c. Karena ikatannya tidak manusiawi, sebab menimbulkan pertentangan dan perselisihan antar sesama manusia dalam berebut kekuasaan. Oki (oleh karena itu) tidak bisa menjadi pengikat antara sesama manusia.

3. Ikatan Kemaslahatan
Ikatan ini bersifat temporal dan dianggap oleh sebagian orang sebagai alat untuk mengikat anggota masyarakat. Karena adanya peluang tawar menawar dalam mewujudkan kemaslahatan mana yang lebih besar, sehingga eksistensinya akan hilang saat suatu maslahat dipilih/didahulukan dari maslahat yang lain.
Persoalannya akan berakhir saat kemaslahatan ini telah ditentukan. Kemudian orang2nya pun membubarkan diri karena ikatan itu berakhir tatkala maslahat telah tercapai. Ikatan ini amat berbahaya bagi pengikutnya.

4. ikatan kerohanian
ikatan ini tidak memiliki peraturan dan akhirnya hanya terlihat dari kegiatan spiritual saja.
Ikatan ini tidak tampak dalam kancah kehidupan dan bersifat parsial (terbatas pada aspek kerohanian semata), yang tidak berhubungan dengan kehidupan sehari-hari sehingga tidak layak menjadi pengikat antar manusia dalam seluruh aspek kehidupannya.

MABDA
Seluruh ikatan tadi tidak layak dijadikan pengikat antar manusia dalam kehidupannya, untuk meraih kebangkitan dan kemajuan.
Ikatan yang benar untuk mengikat manusia dalam kehidupannya adalah aqidah aqliyah (aqidah yang sampai melalui proses berpikir) sehingga disebut sebagai ikatan ideologis (didasarkan pada suatu mabda / ideologi).
Aqidah adalah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup, serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan dunia, disamping hubungannya dengan sebelum dan sesudah kehidupan dunia.
Jadi mabda adalah aqidah aqliyah yang melahirkan peraturan.
Peraturan yang lahir dari aqidah berfungsi untuk:
1. Memecahkan dan mengatasi berbagai problematika hidup manusia
2. Menjelaskan bagaimana cara pelaksanaan pemecahannya.
3. Memelihara aqidah serta untuk mengemban mabda

Point 1 (pemecahan masalah dan problematika hidup manusi) tercakup dalam fikrah. Sedangkan point 2, dan 3 (penjelasan tata cara pelaksanaan pemeliharaan aqidah dan penyebaran risalah dakwah) dinamakan thariqah

Mabda muncul di benak seseorang, baik melalui wahyu allah yang diperintahkan untuk mendakwahkannya atau dari kejeniusan yang nampak pada diri orang itu.
Mabda yang benar muncul dalam benak sesorang melalui wahyu allah dan bersumber dari al Khaliq yaitu pencipta alam, manusia, dan hidup dan pasti kebenarannya (qath’i) adalah mabda yang benar.
Sedangkan mabda yang muncul karena kejeniusan yang nampak pada dirinya adalah mabda yang salah (bathil), karena berasal dari akal manusia yang terbatas, yang tidak mampu menjangkau segala sesuatu diluar batas kemampuan akalnya.
Pemahaman manusia terhadap proses lahirnya peraturan selalu menimbulkan perbedaan, perselisihan dan pertentangan serta selalu terpengaruh lingkungan tempat ia hidup. Sehingga membuahkan peraturan yang saling bertentangan dan mendatangkan kesengsaraan bagi manusia. Oki (oleh karena itu) mabda yang muncul dari benak seseorang adalah mabda yang salah baik dilihat dari segi aqidahnya maupun peraturan yang lahir dari aqidah tersebut.
Aqidah menjadi qoidah fikriyah (kaedah berpikir) sekaligus menjadi qiyadah fikriyah (kepemimpinan berfikir).
Kaedah berpikir (qoidah fikriyah) adalah dasar proses berpikir yang memunculkan aturan-aturan cabang. Ibarat rel kereta dan lokomotif, maka qoidah fikriyah adalah lokomotifnya.
Qiyadah fikriyah (kepemimpinan berpikir) adalah arah pandang kehidupan dan kembali jika diibaratkan dengan rel kereta dan lokomotif, maka qiyadah fikriyah adalah rel kereta apinya.

Syarat mabda yang shohih
Syarat mabda yang shohih (benar) adalah aqidah mabda itu sendiri benar. Kedudukan aqidah adalah sebagai qoidah fikriyah yang menjadi asas bagi setiap pemikiran yang muncul dan akidah yang menentukan pandangan hidup serta yang melahirkan setiap pemecahan problematika hidup serta pelaksanaannya (thariqah).


Jadi syarat mabda yang benar adalah Qoidah Fikriyah yang benar yang sesuai dengan:
a. Fitrah manusia (gharizah/naluri)
Pengakuan terhadap apa yang ada dalam fitrah manusia berupa kelemahan dan kebutuhan diri manusia pada Yang Maha Pencipta, Pengatur segalanya dan sesuai dengan naluri beragama (gharizah Taddayun).
b. Dibangun berdasar akal
Bahwa kaidah ini tidak berlandaskan materi atau sikap mengambil jalan tengah.

Di dunia ini, kit a menjumpai ada 3 mabda (ideologi) yaitu:
1. Mabda kapitalisme
2. Mabda Sosialisme termasuk didalamnya komunisme
3. Mabda Islam

Ad. 1. Mabda (ideologi) Kapitalisme
Mabda kapitalisme diemban oleh beberapa negara, terutama barat. Yang menjadi asas (aqidah) bagi mabda ini adalah ide sekulerisme / pemisahan agama dari kehidupan. Ide sekulerisme dalam mabda kapitalisme selain menjadi aqidah juga sekaligus menjadi qoidah (kaedah berpikir) dan qiyadah fikriyah (kepemimpinan berpikir).
Sebagai qoidah fikriyah karena mereka berpendapat bahwa manusia berhak membuat peraturan hidupnya. Mereka pertahankan kebebasan manusia yang terdiri dari kebebasan berakidah, berpendapat, hak milik dan kebebasan pribadi.
Dari kebebasan hak milik ini lahir dari sistem ekonomi kapitalis, yang termasuk perkara paling menonjol dalam mabda ini, oleh karena itu dinamakan mabda kapitalisme.
Kelahiran mabda kapitalisme
Bermula pada saat kaisar dan raja-raja di eropa dan rusia menjadikan agama sebagai alat untuk memeras, menganiaya, dan menghisap darah rakyat. Para pemuka agama pada waktu itu dijadikan perisai untuk mencapai keinginan mereka. Maka timbullah pergolakan sengit, yang kemudian membawa kebangkitan bagi para filosof dan cendikiawan. Sebagian mereka mengingkari adanya agama secara mutlak, sedangkan yang lainnya mengakui adanya agama, tetapi menyerukan agar dipisahkan dari kehidupan dunia.
Sampai akhirnya dicapai suatu kesepakatan atau jalan tengah yakni memisahkan agama dari kehidupan yang kemudian menghasilkan usaha pemisahan antara agama dan negara.
Disepakati pula pendapat untuk tidak mempermasalahkan agama dilihat dari segi apakah diakui atau ditolak.
Sebab fokus masalahnya adalah agama itu harus dipisahkan dari kehidupan. Ide ini adalah sikap kompromi/jalan tengah antara pemuka agama yang menghendaki segala sesuatunya harus tunduk pada mereka dengan mengatasnamakan agama dengan para filosof dan cendikiawan yang mengingkari adanya agama dan dominasi para pemuka agama.
Jadi ide sekulerisme sama sekali tidak mengingkari adanya agama, tetapi juga tidak memberikan peran dalam kehidupan.